Senin, 19 Maret 2012

SELF ITEM LOCUS OF CONTROL


 
A.    SELF ITEM
Penghargaan (self-esteem) diri diartikan sebagai suatu sikap bagaimana kita memandang diri kita sendiri serta bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Penghargaan diri merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan kesuk-sesan atau kegagalan dan kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan dalam hidup Anda karena penghargaan diri akan mempengaruhi Anda baik Anda sadari maupun tidak.
Nathaniel Branded, dalam "The Six Pillars of Self-Esteem" dan "The Psychology of Romantic Love," mengatakan bahwa ada tiga tantangan dalam hidup yaitu memiliki kemampuan untuk merawat diri sendiri secara independen, mengembangkan kompetensi pada semua hubungan dan daya tahan. Kita semua pernah merasakan kepedihan dan kekalahan, tetapi elemen yang lebih penting di sini adalah kita pasti kembali ke kehidupan normal . Ini merupakan tanda penghargaan diri .[1]
Self-esteem merupakan sikap jalan tengah (middle path). Ia berada di antara dua ektrimitas sikap “anti-sosial”: minder dan sombong. Jadi, seorang dg self-esteem sempurna tidak akan minder atas kekurangan yg dimiliki, tapi juga tidak akan sombong pada kelebihan yg disandang. Ia akan merasa “bebas” untuk bergaul dg siapa saja; tanpa memandang kelebihan/kekurangan materi, tanpa melihat kelebihan/kekurangan fisik, tanpa peduli dg kelebihan/kekurangan jabatan/titel rekan bergaulnya.
Pelaku self-esteem akan menghargai seseorang dari segi kemanusiaannya: bahwa setiap orang diciptakan sama dan patut mendapat respek yg tidak beda.
Dg demikian, seorang diplomat dg self-esteem tinggi akan dg mudah bergaul dg sesamanya; sama mudahnya dg ketika ia bergaul dg lokal staf dan rakyat jelata yg miskin papa dan berbaju lusuh. Begitu juga, seorang mahasiswa/rakyat biasa akan merasa “biasa-biasa saja” ketika bergaul dg pejabat tinggi, kalangan pebisnis, dan tokoh-tokoh besar. Sama biasanya dg ketika ia bergaul dan berbicara dg seorang gelandangan atau tukang becak. Karena kepribadian dg tipe ini selalu menghormati orang karena “manusia”-nya, bukan karena jabatan, titel, atau penampilan fisiknya. Dg kata lain, perilaku self-esteem akan menempatkan kata “martabat dan gengsi” pada makna yg riil, bukan makna yg artifisial.[2]

B.    LOCUS OF CONTROL

Locus of Control (LoC) adalah sikap seseorang dalam mengartikan sebab dari suatu peristiwa. Seseorang dengan Internal LoC adalah mereka yang merasa bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tertentu. Hasil adalah dampak langsung dari tindakannya. Sedangkan, orang dengan External LoC adalah mereka yang sering menyalahkan (atau bersyukur) atas keberuntungan, petaka, nasib, keadaan dirinya, atau kekuatan-kekuatan lain di luar kekuasaannya.
Tiap orang menilai kekuatan-kekuatan yang menghasilkan keberhasilan (sukses) dan kegagalan dengan sikap berbeda-beda. Seorang pelamar kerja yang sudah berkali-kali mengikuti tes dan tidak pernah lolos seleksi, misalnya, bisa saja menyalahkan dirinya karena kekurangannya. Ia mungkin berpikir, ah saya sarjana payah. Pendek kata, ia menilai kegagalannya berasal dari dalam dirinya (Faktor Internal - FI).
Suatu hari, tesnya berhasil. Ia mungkin saja menilai bahwa keberhasilannya bukanlah disebabkan FI-nya, seperti kecerdasan atau kemampuan berbahasa. Tapi, karena keberuntungan. Ah, demikian pikirnya, barangkali karena tidak banyak yang melamar. Jadi, ia menyikapi kegagalan dan keberhasilan dirinya dengan cara berbeda. Ia menerima kegagalannya karena FI tapi keberhasilannya karena FE (Faktor Eksternal). Kesimpulannya, orang bisa punya LoC yang berbeda, baik untuk sukses maupun gagal.
 Selain dikotomi internal dan eksternal, penting untuk memahami keadaan stabil dan labil. Sekali lagi contohnya orang yang menjalani tes. Alkisah, nilainya jatuh, karena pada saat tes ia kelelahan dan konsentrasinya buyar karena ibunya masuk UGD. Jika ia tes lagi dalam keadaan bugar dan ibunya baik-baik saja, ia akan bisa mencetak nilai tes yang bagus. Keadaan ia sedang lelah kita sebut FI sedang labil; dan fakta bahwa ibunya di UGD kita sebut sebagai keadaan (FE) sedang labil, yang sifatnya sementara.
Saat menghadapi kegagalan, kita dianjurkan untuk menyikapinya sebagai keadaan FI sedang labil. Juga FE yang kurang mendukung. Contoh, seorang atlet hari itu prestasinya memble karena sedang pilek dan kakinya keseleo (FI sedang labil), ditambah lagi cuaca habis hujan, becek dan licin (FE sedang labil). Dengan demikian harga diri dan rasa percaya dirinya terlindung dengan baik. Pada lain kesempatan, di mana FI stabil dan FE seperti biasanya, ia akan berprestasi.
Yang terjadi sering terbalik. Ada yang menganggap keberhasilannya karena dukungan FE, misalnya karena ekonomi bagus, dll. Dan, ketika ia menghadapi kegagalan, ia malahan menuduh FI sebagai biangnya, misalnya ia merasa ia goblok. Jika kegagalan itu terjadi beruntun, lama kelamaan harga diri dan rasa percaya dirinya akan ambyar sehingga ia terpuruk.
Sikap yang benar adalah menempatkan FI sebagai faktor yang membuat Anda meraih sukses. Jika Anda naik gaji atau dapat promosi, katakan pada diri sendiri bahwa Anda memperolehnya karena FI yang Anda miliki: kecerdasan, karisma, atau pun ketekunan. Bukan karena FE: anugerah dari bos. Anda layak mendapatkan keberhasilan itu karena jerih payah Anda sendiri, karena memang Anda punya kelebihan. Jika Anda tidak kena PHK, itu bukan karena Anda beruntung atau dikasihani bos, tapi memang Anda tahan banting. Jika Anda tiba-tiba mendapat peluang, itu bukan karena beruntung, tapi karena Anda sudah mejeng memposisikan diri untuk meng-embat peluang itu.
Saat menghadapi keberhasilan, sangat bijak untuk tidak membesar-besarkan FE, tapi jika Anda sedang dirundung kegagalan, lebih bijak menyimak FI dan FE lebih saksama. Yang disimak apa? Stabilitas. Bisa jadi FI kita sedang labil misalnya sakit. Atau, karena FE yang sedang labil, misalnya ada huru hara. Dengan demikian bagian FI kita yang rawan, yakni harga diri dan rasa percaya diri, akan terlindung.[3]
Yang dimaksud dengan Locus of Control (LoC) adalah bagaimana seseorang mengartikan sebab musabab dari suatu peristiwa. Seseorang dengan Internal LoC adalah mereka yang merasa bertanggung jawab atas kejadian2 tertentu. Hasil adalah dampak langsung dari tindakannya. Sedangkan orang dengan External LoC adalah mereka yang seringkali menyalahkan (atau bersyukur) atas keberuntungan, petaka, nasib, keadaan dirinya, atau kekuatan2 lain diluar kekuasaannya.
Tiap orang menilai kekuatan2 yang menghasilkan keberhasilan (sukses) dan kegagalan dengan sikap ber-beda2. Seorang pelamar misalnya, test kesana kemari hanya untuk ber-ulang2 tidak lolos test. Ia bisa saja menyalahkan dirinya karena kekurangannya. Ia mungkin berpikir, ah saya sarjana payah, atau jawabanmya selalu tidak diterima. Dalam keadaan ini ia menilai kegagalannya berasal dari dalam dirinya (FI).
Suatu hari, testnya berhasil. Ia mungkin saja menilai bahwa keberhasilannya bukanlah disebabkan FI, seperti intelgensianya, kemampuannya berbahasa, dll. Tetapi karena ia beruntung. Ah, demikian pikirnya, barangkali karena tidak banyak yang nglamar. Saya satu2nya yang nglamar. Jika demikian ia menyikapi kegagalannya dan keberhasilannya dengan cara berbeda. Ia menerima kegagalannya karena FI tetapi keberhasilannya karena FE. Jika demikian orang bisa punya LoC yang berbeda, baik untuk sukses maupun gagal.
Selain dikotomi internal dan eksternal, penting untuk memahami keadaan stabil & labil. Contoh, seorang alumni test dan nilainya jatuh. Karena pada saat test ia kelelahan dan konsentrasinya buyar karena ibunya masuk UGD. Jika ia test lagi dalam keadaan bugar dan ibunya baik2 saja, ia akan bisa mencetak nilai test yang bagus. Keadaan ia sedang lelah kita sebut FI sedang labil; dan ibunya di UGD sebut sebagai keadaan (FE) sedang labil yang sifatnya sementara.
Dalam meraih sukses sebaiknya kita bersandar pada stabilitas FI. Seseorang bisa diterima di Fak. Anu karena ia mampu mengerjakan test2 sehingga diterima. Jika ia menghadapi test lagi, ia akan memiliki kepercayaan bahwa keberhasilannya disebabkan karena FI. Bukan karena rezeki nomplok, keberuntungan, dll. Secara umum, pahamilah bahwa jika anda berhasil, itu karena faktor internal anda dalam keadaan bagus (stabil).
Jika menghadapi kegagalan, strategi kita harus kita modifikasi. Jika gaga, sangat wajar dan bahkan dianjurkan untuk menyikapinya sebagai keadaan FI sedang labil. Juga FE yang kurang mendukung. Contoh, seorang atlit hari itu prestasinya memble karena sedang pilek dan kakinya kesleo (FI sedang labil), ditambah lagi cuaca habis hujan, becek dan licin (FE sedang labil). Dengan demikian harga diri dan rasa percaya dirinya terlindung dengan baik. Pada lain kesempatan dimana FI stabil dan FE seperti biasanya, ia akan berprestasi.[4]


[1] http://harapansatria.blogspot.com/2010/03/self-esteem.html
[2] http://afatih.wordpress.com/2005/05/02/minder-dan-self-esteem-2/
[3] http://www.portalhr.com/kolom/2id47.html
[4] http://kibrotoi.blogspot.com/2000/03/1-locus-of-control.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar